Aliefmedia, Jakarta – Rencana kontroversial mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengambil alih Jalur Gaza kembali memicu kecaman dari berbagai pihak, termasuk pemimpin dunia dan organisasi internasional. Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui platform media sosial Truth Social, Trump mengungkapkan bahwa Israel akan menyerahkan Gaza kepada AS setelah konflik selesai.
“Jalur Gaza akan diserahkan ke Amerika Serikat oleh Israel pada akhir pertempuran. Warga Palestina, seperti Chuck Schumer, akan dipindahkan ke komunitas yang lebih aman dan indah, dengan rumah-rumah modern di kawasan tersebut,” tulis Trump, seperti dilansir dari BBC pada Kamis (6/2/2025).
Trump juga menegaskan bahwa rencana ini akan membawa kebahagiaan dan keamanan bagi warga Palestina, meskipun rencana tersebut tidak melibatkan pengerahan tentara AS ke Gaza. Dia menyebut bahwa pembangunan besar-besaran akan dilakukan di kawasan tersebut dengan melibatkan tim pembangunan internasional.
“Kami akan menciptakan salah satu proyek pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia. Tidak diperlukan pengerahan tentara AS. Stabilitas kawasan akan terjamin!” ujar Trump.
Namun, pernyataan ini langsung menuai reaksi keras dari banyak pihak, termasuk dari Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan komunitas internasional.
Palestina Tegas Menolak Rencana Trump
Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan bahwa seruan Trump untuk mengambil alih Gaza adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Pernyataan tersebut juga dianggap mengancam hak-hak fundamental rakyat Palestina.
“Kami tidak akan membiarkan hak-hak rakyat kami, yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun, dirampas. Perdamaian tidak akan tercapai tanpa berdirinya negara Palestina yang merdeka,” tegas Abbas dalam pernyataannya, seperti dikutip dari kantor kepresidenan Palestina.
Penolakan ini tidak hanya datang dari pemimpin politik Palestina, tetapi juga dari warga Gaza sendiri. Amir Karaja, salah satu warga yang terdampak konflik, dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan tanah kelahirannya.
“Ini tanah kami, dan kami adalah pemiliknya yang sah. Tidak ada Trump atau siapa pun yang bisa mengusir kami dari Gaza,” kata Karaja saat diwawancarai oleh CNN.
Karaja, yang tengah membersihkan puing-puing rumahnya di kamp pengungsi Nuseirat, menambahkan bahwa ia lebih memilih bertahan di Gaza meskipun dalam kondisi sulit daripada meninggalkan tanah airnya.
Reaksi Dunia Internasional
Rencana Trump untuk mengambil alih Gaza juga menuai kritik tajam dari berbagai negara dan organisasi internasional. Beberapa negara seperti Iran, Jerman, Prancis, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tegas menolak ide tersebut. Mereka menyebut langkah Trump sebagai upaya sepihak yang melanggar prinsip-prinsip dasar perdamaian dunia.
Tak ketinggalan, Indonesia juga menyatakan sikap menolak rencana tersebut. Sebagai salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia menegaskan bahwa setiap upaya untuk merebut Gaza adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
“Indonesia berdiri bersama rakyat Palestina. Kami terus mendukung perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang sah sebagai bangsa yang merdeka,” ungkap perwakilan Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataan resminya.
Kritik dari Politisi AS Sendiri
Di dalam negeri, rencana Trump juga mendapatkan kritik dari salah satu tokoh politik senior, Chuck Schumer, yang merupakan pemimpin minoritas di Senat AS dan berasal dari Partai Demokrat. Schumer bahkan secara terbuka menyebut tindakan Trump sebagai langkah yang sembrono dan melanggar hukum.
Trump, di sisi lain, tetap bersikeras bahwa rencananya akan membawa perubahan besar di kawasan Timur Tengah. Menurutnya, warga Palestina akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik melalui pembangunan infrastruktur dan komunitas baru yang dirancang untuk kenyamanan mereka.
Rencana Donald Trump untuk mengambil alih Gaza terus menuai polemik di berbagai belahan dunia. Meski Trump mengklaim bahwa idenya bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan kebahagiaan bagi warga Palestina, mayoritas pihak menilai bahwa rencana tersebut tidak realistis dan melanggar hukum internasional. Penolakan keras dari Palestina, komunitas internasional, hingga politisi AS sendiri menunjukkan bahwa perdamaian tidak akan tercapai tanpa menghormati hak-hak dasar rakyat Palestina. Keputusan sepihak seperti ini justru berpotensi memicu konflik yang lebih besar di kawasan yang sudah lama dilanda ketegangan.