Aliefmedia, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra secara terbuka mengakui adanya kelemahan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (APH). Dalam pernyataannya, Yusril menegaskan bahwa pemerintah tengah mengupayakan reformasi hukum demi menciptakan sistem peradilan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Gambar Istimewa : kompas.com
“Pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan reformasi hukum demi terciptanya sistem peradilan yang adil, transparan, dan akuntabel. Salah satu program unggulan dari delapan Asta Cita Pak Prabowo adalah reformasi bidang hukum dan birokrasi,” ungkap Yusril dalam sambutannya pada acara Malam Apresiasi Karya Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta, Jumat (17/1/2025).
Pentingnya Harmonisasi Penegakan Hukum
Menurut Yusril, reformasi ini diperlukan agar aparat penegak hukum dapat menjalankan tugasnya secara seirama dengan aturan hukum yang berlaku. Ia menyoroti masalah utama dalam sistem hukum di Indonesia, yakni adanya multitafsir dalam penerapan hukum pidana, yang kerap menyebabkan ketidakjelasan.
“Hal-hal seperti ini memang harus diperbaiki. Terutama di bidang hukum pidana, agar hukum tidak multitafsir. Masih banyak norma hukum yang tidak jelas sehingga menyebabkan kerancuan dalam pelaksanaannya,” kata Yusril.
Yusril juga mencontohkan perbedaan persepsi di antara aparat penegak hukum mengenai norma hukum tertentu, seperti Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur tentang kerugian keuangan negara. Ia mengungkapkan, terdapat 23 jenis peraturan yang merumuskan definisi keuangan negara, yang sering kali menjadi sumber kebingungan.
Ilustrasi Multitafsir Norma Hukum
Dalam paparannya, Yusril memberikan ilustrasi yang menarik untuk menggambarkan persoalan multitafsir ini. “Misalnya, ada yang mendefinisikan uang negara sebagai uang yang berasal dari APBN dan APBD. Kalau gaji kita berasal dari APBN, kemudian uang itu dicopet di pasar, apakah uang tersebut masih dianggap uang negara? Kalau pencopet itu dianggap mencuri uang negara, ia bisa didakwa di pengadilan Tipikor,” ujarnya yang disambut gelak tawa peserta diskusi.
Pernyataan ini menegaskan bahwa multitafsir dalam perumusan norma hukum dapat menimbulkan berbagai masalah dalam praktik penegakan hukum, sehingga penting untuk segera dilakukan perbaikan.
Kritik terhadap Aparat Penegak Hukum
Yusril tidak segan mengkritik kinerja aparat penegak hukum yang menurutnya masih sering mengalami perbedaan persepsi terhadap norma hukum. Ia mengakui bahwa kelemahan internal ini menjadi salah satu kendala utama dalam menciptakan sistem hukum yang lebih baik.
“Di internal pemerintah, saya harus akui, ada kelemahan juga. Persepsi aparat penegak hukum terhadap suatu norma hukum tidak seragam. Bagaimana mereka bisa menegakkan keadilan jika persepsinya berbeda-beda?” ujarnya.
Komitmen Pemerintah untuk Perubahan
Melalui reformasi hukum yang tengah dijalankan, pemerintah berharap dapat mengatasi berbagai permasalahan ini. Fokus utama adalah menciptakan harmonisasi antara norma hukum dan penegakannya agar sistem peradilan di Indonesia menjadi lebih efektif.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendengar masukan dari berbagai kalangan, termasuk wartawan hukum, dalam menyusun strategi reformasi hukum yang komprehensif. Dengan tema “Wajah Hukum Pemerintahan Baru,” acara ini juga menjadi forum diskusi penting untuk mengevaluasi kebijakan hukum yang ada.
Yusril berharap reformasi hukum ini dapat membawa perubahan signifikan bagi sistem peradilan di Indonesia. “Kami ingin memastikan bahwa hukum dapat menjadi alat keadilan yang nyata, bukan sekadar aturan yang multitafsir,” pungkasnya.
Dengan komitmen ini, pemerintah optimistis bahwa Indonesia akan mampu membangun sistem hukum yang lebih baik untuk masa depan.